THE GARDEN OF REMEMBRANCE
Setapak Sriwedari di Tengah Fana Duniawi
Kamis, 02 Mar 2023 08.55 WIB
The Garden of Remembrance — Sriwedari mungkin bukan istilah yang terdengar asing bagi penduduk kota yang dijuluki sebagai Jiwanya Jawa, maupun bagi penikmat karya musisi MALIQ & D’Essentials yang memiliki lagu dengan judul yang sama dengan susunan huruf berukuran besar pada kepala wacana — yang tentu saja, juga menjadi salah satu inspirasi ditulisnya artikel ini.
Istilah Sriwedari sendiri berasal dari Serat Arjunasasra karangan Raden Ngabehi Yasadipura II; merupakan nama taman milik Prabu Arjunasasra yang konon memiliki keindahan bak taman di surga. Tak ayal, kata Sriwedari dipilih untuk menamai sebuah kompleks taman yang dibangun di tengah kota pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana X.
Namun, Sriwedari yang akan dibahas dalam artikel ini bukanlah taman yang disebutkan dalam Serat Arjunasasra, bukan pula taman indah yang menjadi favorit warga kota Surakarta. Setapak Sriwedari yang akan dibahas dalam artikel ini adalah sebuah pengibaratan surga duniawi yang ditemukan oleh Nona Pemilik Taman Tanpa Bunga, pada seorang laki-laki yang datang ke dalam hidupnya.
“Tuan pemilik nama Rakian Arutama, adalah ia yang presensinya hadirkan Setapak Sriwedari di dunia semu dan bersifat fana ini. Pun begitu, segala hal membahagiakan yang ia hadirkan begitu nyata dan tidaklah semu sama sekali,” ujar si Nona memulai penjelasannya tentang Setapak Sriwedari yang menjadi topik utama diskusi.
“Istilah Setapak Sriwedari yang saya maksud di sini menggambarkan tentang perasaan kagum dan bahagia yang saya rasakan tiap kali berbicara padanya, layaknya rasa kagum dan bahagia ketika kita melihat sebuah taman cantik yang keindahannya bagaikan taman di surga.”
Nona Pemilik Taman Tanpa Bunga menurunkan pandangan. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas; nampak selaras dengan semburat rona merah yang terlihat jelas merubah warna kulit pipinya, seolah mengisyaratkan bahwa sang pemilik paras tengah bergumul dengan suatu skenario menyenangkan di dalam kepala.
“Kehadirannya selalu membawa rasa gembira, celetukan jenakanya tak jarang memunculkan gemuruh riuh di dalam dada, sedang eksistensinya meradiasikan rasa nyaman yang menghangatkan jiwa. Bagaimana bisa untuk tak jatuh cinta?” Lanjut Nona dengan kekehannya.
“Seperti syair tak beraksara, seperti puisi tanpa rima. Seperti lirik lagu, ya? Tetapi kalau diibaratkan, kira-kira seperti itulah deskripsi perasaan Tarasari saat menapakkan kakinya di atas Sriwedari yang dihadirkan oleh Arutama.”