ARCHIVE
Kisah Kapal Kecil dan Mercusuar.
Prolog
Dikisahkan pada suatu masa, hiduplah sebuah Kapal Kecil yang menghabiskan waktunya untuk berkelana mengarungi samudera, dari ujung ke ujung dunia, tanpa tujuan akhir yang pasti di dalam pengembaraannya.
Entah apa yang si Kapal Kecil cari — selain menjalani takdirnya untuk mengelilingi bumi. Dermaga demi dermaga ia singgahi, namun tak jua dia temukan sesuatu yang selama ini terasa hilang dari diri.
Hanya satu kepercayaan yang selalu ia yakini, bahwa hati kecilnya akan menuntunnya ke sebuah tempat di mana dirinya akan dapat menemukan apa yang dia cari selama ini.
Ratusan hari, puluhan bulan — Kapal Kecil habiskan di atas lautan. Hingga akhirnya tibalah ia di sebuah dermaga yang memiliki pemandangan matahari terbenam paling indah, yang pernah Kapal Kecil lihat seumur hidupnya.
Dermaga tempat di mana sang Mercusuar berada.
Mercusuar yang ditemui si Kapal Kecil di dermaga itu bukanlah mercusuar biasa. Mercusuar tinggi, kokoh, dan gagah itu memiliki cahaya yang begitu terang dan selalu mampu menuntun para kapal menemukan pelabuhannya untuk sekadar singgah ataupun mengakhiri perjalanan. Pun begitu, sang Mercusuar juga memiliki sisi hangat dan menawan, terlebih saat badan tegapnya bermandikan cahaya matahari menuju petang.
Menyebabkan si Kapal Kecil dengan mudahnya menjatuhkan hati pada sang Mercusuar.
Bahkan sejak perlabuhan pertama yang ia lakukan di dermaga milik Mercusuar, dengan proses yang cukup klise untuk diceritakan.
Si Kapal Kecil jatuh hati pada sang Mercusuar.
Ribuan jam terlewati, ratusan hari dilalui. Banyak momen yang dibagikan, serta tawa canda yang terlontarkan.
Berbagai macam obrolan mulai dari macam-macam rasi bintang sampai reinkarnasi pernah mereka lakukan dalam siang dan malam saat si Kapal Kecil berada dalam dekapan cahaya Mercusuar.
Kapal kecil selalu menikmati tiap detik waktu yang ia habiskan bersama sang Mercusuar, meskipun apa yang mereka lakukan hanyalah mengobrolkan hal-hal ringan, konyol, dan tidak masuk akal atau pun sekadar menikmati pemandangan matahari terbenam dalam keheningan.
Kapal Kecil menemukan kenyamanannya — rumahnya.
Ia menemukan tempatnya untuk berpulang, di setiap akhir pengembaraan yang harus ia lakukan.
Namun, masa-masa bahagia mereka untuk bersama tak pernah dapat berlangsung lama. Sebab, si Kapal Kecil harus kembali melakukan pelayarannya mengelilingi dunia.
Tentunya, sang Mercusuar tak pernah merasa keberatan. Bahkan ia selalu mengantarkan kepergian si Kapal Kecil dengan senyuman serta menyambut kepulangannya penuh suka cita dan kebahagiaan. Tak lupa pelukan hangat dan ungkapan kerinduan yang selalu diberikan oleh sang Mercusuar sebagai ritual penyambutan.
Tetapi entah mengapa, kali ini tak demikian.
Hati sang Mercusuar tiba-tiba dipenuhi dengan kegelisahan saat ia mendekap tubuh kecil kesayangannya, sebelum melepaskan si Kapal Kecil kembali berlayar mengarungi samudera.
Dan bahasa tubuh Mercusuar yang tak biasa itu dengan mudahnya terbaca oleh si Kapal Kecil. Melantarkan terlontarnya pertanyaan dari bibir Kapal Kecil kepada sang Tuan.
“Ada apa, Mercusuar?” Tanya Kapal Kecil.
“Haruskah kau kembali berkelana mengarungi samudera? Tak bisakah tetap tinggal di sini? Kau bilang di sini rumahmu. Tetapi, kenapa masih berkelana lagi?”
Serentetan pertanyaan tersebut menimbulkan kerutan di dahi si Kapal Kecil. Sebab, tak biasanya sang Mercusuar mengutarakan rasa berat hati seperti ini, sesaat sebelum keberangkatan Kapal Kecil dari dermaga.
“Memang benar di sini rumahku, tempatku berpulang. Tapi aku harus tetap menjalani takdirku, Mercusuar. Takdirku sebagai seorang kapal — menjelajahi seluruh perairan di bumi ini untuk mencari makna kehidupan. Sama halnya dengan kau yang harus selalu menyorotkan sinar untuk membantu para kapal untuk pulang.”
Mercusuar termenung mendengar penjelasan Kapal Kecil. Kekhawatiran masih belum juga surut dari rautnya. Menyebabkan si Kapal Kecil kembali merengkuh sang Mercusuar yang tengah memandang dirinya dengan tatapan sendu menghiasi wajah teduhnya.
“Aku akan segera pulang, Mercusuar. Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja sampai aku kembali nanti,” ucap si Kapal Kecil meyakinkan, seraya mengeratkan rengkuhannya pada tubuh Mercusuar yang berukuran jauh lebih besar darinya.
Sementara, sang Mercusuar masih belum memberikan tanggapan apapun terhadap kalimat Kapal Kecilnya.
“Hm… aku berjanji, ini akan menjadi pelayaran terakhirku. Setelah itu, aku akan menetap selamanya di sini denganmu,” tambah si Kapal Kecil kemudian.
Mercusuar menegakkan pandangannya. Menatap Kapal Kecil dengan mimik yang lebih cerah dari sebelumnya.
“Lalu, kapan kau akan pulang? Berapa lama aku harus menunggu sampai kau kembali lagi ke dekapanku?” Tanya sang Mercusuar, menuntut kepastian.
Membuat Kapal Kecil sejenak terdiam, memperkirakan waktu yang akan ia habiskan untuk mengelilingi bumi.
“Dua belas hari dari sekarang? Aku berjanji, akan kembali lagi di hari ke-12 dari hari ini, Mercusuar. Setelah itu, aku tak akan berkelana lagi. Aku akan menetap di sini.”
Secercah rasa tenang mulai melingkupi hati sang Mercusuar begitu memperoleh kepastian, meskipun kegelisahan di hatinya tak lantas sepenuhnya hilang.
Maka dari itu meskipun masih dengan hati yang berat, Mercusuar akhirnya melepaskan Kapal Kecilnya untuk kembali berlayar.
Berlayar mengarungi samudera untuk yang terakhir kalinya, sebagaimana yang Kapal Kecilnya janjikan.
Beberapa hari berlalu sejak kepergian si Kapal Kecil. Sang Mercusuar menjalani hari-harinya seperti biasa, menyiarkan sinarnya untuk membantu kapal-kapal lain menemukan dermaganya.
Tak terkecuali sore ini.
Sembari menunggu matahari membenamkan diri, Mercusuar termenung menatap langit jingga.
Pikirannya tiba-tiba berkelana memikirkan Kapal Kecilnya.
Kapal Kecilnya yang. biasanya selalu menemaninya menikmati langit jingga, sedang apakah dirinya saat ini di luar sana?
Apakah ia juga tengah memikirkan dirinya sama seperti bagaimana Mercusuar selalu memikirkannya?
Mercusuar menghela napas.
Pandangannya lantas mengedar meneliti awan-awan yang bergerak pelan, hingga kemudian matanya tertuju pada gumpalan awan besar yang cukup menarik perhatian.
Awan itu berbentuk seperti Kapal.
Bentuk Kapal yang sangat familiar.
Awan besar itu memiliki bentuk seperti sosok Kapal yang sesaat tadi menguasai pikirannya.
Begitu persis, hingga membuat sang Mercusuar terpaku melihatnya.
Rasa gelisah kembali muncul di hatinya. Terlebih, ketika ia menyadari adanya awan hitam yang mulai muncul dari kejauhan.
Mercusuar memejamkan mata. Mencoba mengingat dan menghitung sisa hari yang harus ia jalani sampai Kapal Kecilnya kembali.
Di tengah keheningannya, desau angin laut yang mulai berhembus menandakan datangnya malam, mendistraksi sang Mercusuar. Sebab, indranya dapat menangkap sayup-sayup suara yang membisikkan nama Kapal Kecil di sela-sela desauan angin yang menerpa wajahnya.
Bahkan, lengkungan rembulan yang mulai terbit dari ujung lautan seketika mengingatkan dirinya akan senyuman Kapal Kecil kesayangannya.
Hingga malam berganti siang, matahari kembali tenggelam, dan bulan kembali merajai malam, kekhawatiran Mercusuar tak kunjung hilang.
Seluruh tubuh sang Mercusuar dilingkupi oleh rasa gelisah tak terelakkan.
“Hari kesebelas,” gumam Mercusuar setengah melamun, sembari memerhatikan rembulan yang letaknya sedikit lebih tinggi dari pandangannya.
“Seharusnya, besok menjadi hari kepulangan Kapal Kecil dari pelayarannya,” lanjut sang Mercusuar seraya menghela napas pelan.
Seharusnya hatinya diliputi oleh rasa gembira, sebab Kapal Kecilnya akan segera kembali ke pelukannya. Namun, malam ini yang terjadi justru sebaliknya.
Rasa khawatir masih bersemayam di sana, bahkan makin bertambah besar setiap detiknya.
Kepalanya masih dipenuhi dengan Kapal Kecilnya yang entah bagaimana kabarnya.
Sampai saat tengah malam tiba, langit yang tadinya cerah berubah menjadi hitam pekat seketika.
Hujan deras dan angin kencang mulai menjajaki lautan. Permukaan air yang semula tenang terlihat bergejolak, bahkan tak jarang airnya menghantam tubuh Mercusuar yang memang terletak tak jauh dari perairan.
Melihat seberapa mengerikannya amukan alam, hati Mercusuar bergetar. Seluruh asumsi-asumsi buruk mulai menyerang dan memenuhi pikiran.
“Kapal Kecil! Kapal Kecil!” Teriak Mercusuar sekuat tenaga, meskipun suaranya teredam oleh derasnya hujan.
Berkali-kali ia meneriakkan nama Kapal Kecilnya, berharap Kapal Kecil dapat mendengar suaranya yang menyerukan pesan untuk tidak berlayar ke arah dermaganya sekarang.
Di sela-sela air hujan yang membasahi sekujur tubuhnya, air mata ikut mengalir membasahi wajah sang Mercusuar yang seakan mendapatkan firasat jika setelah badai reda dan malam ini berlalu, hari-harinya tak akan lagi sama seperti dulu.
Dan sayangnya, pesan-pesan yang diserukan sekuat tenaga oleh sang Mercusuar tak tersampaikan pada Kapal Kecil yang tengah terjebak di tengah luasnya samudera malam.
Dalam pengelanaannya, si Kapal Kecil selalu bisa menemukan jalan pulang berkat cahaya sang Mercusuar. Namun, tak disangka malam itu badai disertai hujan deras terjadi dalam rute perjalanan si Kapal Kecil menuju tempatnya berpulang.
Kapal Kecil yang terombang-ambing amukan ombak laut dan derasnya hujan yang memperpendek jarak pandang pun menyebabkannya cukup kesusahan untuk menemukan cahaya Mercusuar.
Dengan sekuat tenaga, si Kecil berusaha mengontrol tubuhnya untuk kembali ke arah yang semestinya. Akan tetapi, ombak dan badai yang kian besar menyebabkan tubuh Kecilnya justru terhempas semakin jauh dari jalannya pulang.
“Mercusuar! Mercusuar! Tuntun aku pulang! Aku terjebak dalam badai besar, Mercusuar!” Pekik si Kapal Kecil sayup-sayup, akibat teredam oleh suara kencangnya angin dan derasnya hujan.
Betapa malangnya si Kapal saat tubuh kecilnya itu terpelanting oleh ombak yang mendorongnya menuju serumpun karang di tengah lautan, hingga menyebabkan tubuh bagian kanannya mengalami kerusakan.
Air mulai memasuki tubuhnya, diiringi teriakan si Kapal Kecil yang tak henti-hentinya meneriakan nama sang Mercusuar. Berharap sang Mercusuar dapat mendengarnya atau bahkan menyelamatkan dirinya yang mulai pupus harapan.
“Mercusuar! Tolong aku, aku akan tenggelam!” Pekik Kapal Kecil, sembari berusaha sekuat tenaga untuk menyeimbangkan tubuhnya yang mulai timpang.
Bintang-bintang alam semesta yang bersembunyi di balik gelapnya langit samudera malam itu merasa iba, melihat betapa naasnya kondisi si Kapal Kecil yang sekali lagi bertumbukan dengan batu karang.
Kali ini, sisi kirinya yang terluka.
Air yang memasuki tubuhnya melalui lubang di sisi kanan telah memenuhi separuh badan kapal. Sementara, dari sisi kiri laju debit air laut yang mengisinya juga semakin meningkat. Membuat tubuh si Kapal Kecil lambat laun bergerak ke dasar palung yang ada di bawah permukaan air tempat ia berlayar.
Dua pertiga tubuhnya yang telah diselimuti air menyebabkan si Kapal Kecil tak mampu lagi meneriakkan nama sang Mercusuar.
Hatinya yang kalut, perlahan mulai tenang. Rasa khawatirnya mulai menghilang, tergantikan dengan rasa pasrah akan segala kemungkinan.
Kepala kecilnya masih dipenuhi nama sang Mercusuar.
Harapan tingginya untuk dapat bertemu kembali dengan sang Mercusuar mulai teredam. Kapal Kecil mulai mengikhlaskan.
Jika memang dirinya harus tenggelam, ia berpasrah pada Tuhan.
Kapal Kecil memejamkan mata. Dalam hatinya, ia memanjatkan doa.
Doa untuk sang Mercusuar kesayangannya, yang mungkin esok pagi dan hari-hari seterusnya harus menjalani kehidupannya di dunia tanpa kehadiran Kapal Kecilnya.
“Tuhan Semesta Alam…” batin si Kapal Kecil memulai doanya.
“Jika memang tak Engkau perkenankan aku untuk bisa melihat indahnya cahaya matahari esok pagi, aku tak apa. Namun, aku mohon sampaikan pesan terakhirku kepada sang Mercusuar…
Sampaikan kepadanya, untuk selalu menyinarkan cahaya guna membantu kapal-kapal lain untuk pulang. Sampaikan kepadanya, untuk selalu bersinar terang meski tak akan ada lagi obrolan penuh canda tawa di bawah pancaran sinar bintang. Sampaikan kepadanya, untuk tak membenci langit jingga karena kenangan yang ada.”
Sisa udara yang kian menipis dalam tubuhnya membuat Kapal Kecil kian merasa sesak. Sejenak, ia terdiam sebelum melanjutkan doa yang ia panjatkan.
“Dan sampaikan kepada Mercusuar, untuk tidak perlu khawatir. Karena aku akan mencari dirinya di kehidupan selanjutnya. Aku berjanji jika aku pasti bisa menemukan dirinya di tengah kerumunan. Dan jika saat itu tiba… aku akan menetap di sampingnya…
…selamanya.”
Kapal kecil tersedak. Hembusan terakhir tersisa dalam tubuhnya. Kesadarannya mulai hilang, seluruh badannya menegang.
Ombak besar dari amukan badai yang sekali lagi menghantam tubuh mungilnya mempercepat pergerakan Kapal Kecil menuju dasar lautan.
Dengan sisa kesadaran yang ada, ia tumpahkan seluruh rasa penyesalannya yang menghimpit dada.
Penyesalan tentang kenapa dirinya harus dilahirkan sebagai Kapal Kecil yang memiliki takdir untuk berkelana mengelilingi dunia.
Penyesalan tentang kenapa ia harus meninggalkan Mercusuar kesayangannya.
Dan penyesalan tentang terlambatnya ia dalam menyadari…
…bahwa makna kehidupan yang selama ini ia cari adalah seluruh waktu yang ia lalui bersama dengan sang Mercusuar.
Mercusuarnya yang memberikan berbagai macam rasa dalam kehidupan.
Mercusuarnya yang mengajarkan tentang mengasihi dan memberikan kasih sayang.
Mercusuarnya, tempat di mana ia menemukan hari-hari paling membahagiakan.
Mercusarnya, tempat di mana malam ini seharusnya menjadi tujuan akhir dari ujung pengelanaan, tempatnya berpulang.
Dan bukannya gelapnya lautan dalam yang hanya akan meninggalkan kisah pilu yang akan terlupakan bertahun-tahun kemudian.
Epilog
Lalu kan kau temukan bayangan sepasang anak manusia tengah berdansa di bawah sinar rembulan, diiringi riuhnya musik alam semesta yang terdiri dari deburan ombak laut dan kerlingan bintang-bintang, seakan mereka semua ikut merayakan pertemuan yang telah lama didambakan.
Seribu tahun kemudian, di bawah menara Mercusuar.
Gayatri;
Oktober, 2022.
— tulisan diunggah untuk tujuan pengarsipan.